Sabtu, 18 Mei 2013

Presiden Soeharto, Sosok Yang Dibenci dan Dicaci Tapi Dirindukan

Presiden Soeharto, Sosok Yang Dibenci dan Dicaci Tapi Dirindukan - 15 Tahun sudah reformasi digulirkan sejak Presiden Soeharto digulingkan oleh rangkaian demonstrasi mahasiswa dan rakyat. Krisis ekonomi tahun 1998 salah satu pemicu utama Soeharto lengser selain kemuakan atas rezim represif yang berkuasa selama 32 tahun.

Bagi yang membencinya, Soeharto adalah penjahat kemanusiaan, pelanggar HAM, pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang menggurita. Di zaman Soeharto , kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam. Kalangan aktivis pro demokrasi tentu yang paling merasakan.

Budiman Sudjatmiko misalnya. Anggota DPR dari PDI Perjuangan ini kenyang merasakan tekanan aparat keamanan semasa dirinya menjadi Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dicap komunis dan dituduh makar sebagai buntut dari bentrok penyerangan markas PDI pada 27 Juli 1996, Budiman divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan hukuman penjara 13 tahun tapi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie saat reformasi. Grasi itu ditolak oleh Budiman dkk. Mereka baru mau keluar dari penjara pada pada 10 Desember 1999 setelah Presiden Gus Dur memberikan amnesti.

Dalam sebuah komentarnya yang pernah dikutip media massa, Budiman Sudjatmiko menegaskan sikapnya soal Soeharto . "Semua yang bicara soal pemaafan terhadap Soeharto tidak memiliki hak moral untuk menyatakan hal tersebut. Yang berhak memberikan maaf kepada Soeharto adalah para korban yang kehilangan harga diri."

Demikian juga dengan Adian Napitupulu, mantan Ketua Forum Kota atau Forum Komunitas Mahasiswa Se-Jabotabek yang menjadi pentolan demonstran mahasiswa tahun 1998 menilai Soeharto tidak layak dimaafkan. Apalagi sampai diberi gelar pahlawan.

Aktivis yang juga Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan juga pernah mengatakan, saat ini rakyat perlu diberikan penjelasan bahwa ekonomi yang terpuruk selama ini merupakan hasil dari tindakan Soeharto yang diteruskan oleh para kroninya.

Sedangkan Ratna Sarumpaet, seniman dan aktivis yang pernah diburu aparat keamanan di era Soeharto karena membuat karya seni tentang DOM di Aceh, Marsinah dan G 30 S PKI menilai, semasa memimpin, Soeharto telah melakukan kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi dan kejahatan politik yang luar biasa.

Usman Hamid, mantan koordinator Kontras pun menilai, banyak kasus yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto yang tidak bisa diselesaikan sampai sekarang. Misalnya kasus pembantaian selama tahun 1965 sampai 1970, penembakan misterius, kerusuhan Timor Timur, masalah Daerah Operasi Militer di Aceh, pelanggaran HAM di Papua, pembunuhan dukun santet, kasus Talangsari, kasus Marsinah, kasus TSS, sampai penculikan aktivis.

Namun belakangan, mulai muncul suara-suara yang mengkritisi reformasi. Perubahan rezim tidak menghasilkan perubahan kehidupan yang lebih baik. Ekonomi kian sulit, meski pemerintah menggembar-gemborkan pertumbuhan ekonomi yang katanya mencapai 6 persen dan terbaik di Asia.

Masyarakat merasakan sebaliknya. Akses terhadap kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan dengan upah yang layak masih sulit. Muncullah kemudian semacam frustrasi sosial yang muncul dalam gambar di bak truk bergambar Soeharto sambil tersenyum yang bertuliskan 'Isih penak zamanku tho le?' tulisan itu berarti 'masih enak zamanku kan nak?'

Melihat kondisi Indonesia saat ini, bekas Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahkan mengatakan Indonesia sangat membutuhkan sosok pemimpin seperti Pak Harto. Menurut dia, di era Soeharto , rakyat Indonesia lebih sejahtera.

Namun pernyataan itu langsung dimentahkan mantan aktivis 98, Ray Rangkuti. Menurutnya, justru saat memimpin, Soeharto hanya berorientasi pada bagaimana orang bisa kenyang, dengan makan dan minum alias urusan perut. Hal itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya sikap otoriter.

"Puncak peradaban manusia saat itu yang penting bisa makan dan minum. Kalau negara menyediakan itu, bagi Pak Harto itulah masyarakat yang sehat," ujar Ray saat berbincang dengan merdeka.com, Senin (14/5).

Padahal, lanjut Ray, kesejahteraan yang demikian justru membuat rakyat tidak berkembang dan membuat sistem pemerintahan menjadi otoriter. "Karena saat itu tidak ada masyarakat yang bisa diajak berorganisasi, berekspresi dan juga mengeluarkan pendapat. Sekali berpendapat tahu-tahu hilang begitu saja tidak meninggalkan jejak," kata Ray.

"Jadi otak manusia saat itu tidak terpakai. Padahal sudah seyogyanya manusia diberikan akal untuk berpikir dan tidak juga selalu memikirkan urusan perut," ucapnya sinis.

Dia tak yakin sepenuhnya dengan ucapan segelintir orang yang menyebut masa Presiden Soeharto lebih enak dibandingkan saat ini. Penilaian yang demikian menurutnya hanya bualan belaka.

"Masyarakat yang seperti itu ialah mereka yang hanya membayangkan urusan perut bukan otak. Yang penting bisa makan dan minum. Nggak bisa diajak berdiskusi, mengeluarkan pendapat dan mengkritik. Mereka juga nggak merasakan dikejar-kejar polisi, rumahnya diintai, diikutin lalu diculik," tegas pria yang kini juga menjadi pengamat politik.

Ray juga tidak setuju dengan stigma yang mengatakan saat ini sedang terjadi krisis demokrasi yang kebablasan. Justru dia menilai itu bagian dari kebebasan berekspresi yang dulunya sulit untuk dilakukan.

"Kalau tolak ukurnya zaman Soeharto ya kebablasan. Tapi yang terjadi saat ini ialah kebebasan berekspresi yang sedang terkonstruksi. Sekarang masyarakat sedang naik kelas. Bayangkan selama 32 tahun kebebasan berekspresi kita dikekang, dan sekarang sedang pada tahap euforia mengeluarkan pendapat, mengkritisi dan berdiskusi," tandasnya.

Sementara pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya mengakui, saat ini secara politik memang masyarakat tidak cukup puas dengan masa reformasi, terutama pada periode 2009-2014. "Hal ini terjadi karena kondisi saat ini secara konstelasi politik sangat ekstrem, sehingga terkesan seperti ada wilayah tak bertuan. Dan harus kita akui, rezim Soeharto punya kelebihan, ekonomi makro dan stabilitas politik," ujar dia. | merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar